PENTINGNYA MADRASAH DINIYAH DALAM PENDALAMAN PENGETAHUAN TAUHID dan AKIDAH AGAMA ISLAM SERTA PEMBENTUKAN KARAKTER GENERASI BANGSA
PENTINGNYA MADRASAH DINIYAH DALAM PENDALAMAN PENGETAHUAN TAUHID dan AKIDAH AGAMA ISLAM SERTA PEMBENTUKAN KARAKTER GENERASI BANGSA
Selama saya tinggal di kota besar
Semarang saya merasakan adanya perbedaan kehidupan masyarakat kota dengan
masyarakat pedesaan, hal ini terlihat dari pendidikan agama Islam yang sangat
kurang diperhatikan oleh orang tua murid, biasanya orang tua yang tinggal di
kota lebih mengutamakan pendidikan formal nasional yang mempelajari ilmu-ilmu
pasti, dimana sangat kurang dalam hal pendidikan agama, sehingga banyak
anak-anak yang kurang tahu bahkan tidak tahu akan pengetahuan tauhid dan akidah
agama Islam. Melihat hal tersebut saya sangat perihatin, mengingat agama
merupakan hal yang sangat penting dan sensitive, karena hal tersebut menyangkut
hubungan kita dengan Allah (Tuhan) dan pertanggung jawaban kita kepada-Nya
kelak.
Dulu sekitar tahun 90-an menginjak
sekolah dasar saya sudah diperkenalkan oleh orang tua saya mengenai pengetahuan
tauhid dan akidah agama Islam melalui madrasah diniyah dan mengaji al-Quran
setiap petangnya. Anak-anak di desa setiap pulang sekolah mereka akan berangkat
sekolah lagi pada pukul 14.30 sampai 16.30 di madrasah diniyah awaliyah. Di sekolah
ini sangat unik mengingat tidak ada seragam khusus, kita berangkat sekolah
dengan mengenakan sarung dan kemeja serta memakai peci dengan beralaskan sandal
jepit, ya kurang lebih seperti santri pondokan, begitu juga dengan yang wanita
memakai kerudung.
Sistem pendidikan di madrasah diniyah
ini cukup unik, karena kita memakai huruf Jawi (yaitu huruf arab beserta
turunannya dengan lafal bahasa Jawa), jadi di sekolah ini kita menulis dengan
huruf arab walaupun dalam bahasa Jawa. Di sekolah ini kita di ajarkan menulis
dan membaca huruf hijaiyah, pelajaran Tauhid, Tajwid, Akhlaq, Hadizh, sejarah Islam,
Nahwu, Shorof dan seputar pengetahuan tentang Islam. Pendidikan madrasah
diniyah ini seperti pendidikan formal nasional lainnya, yaitu menginjak TK ada
TPQ (Taman Pendidikan al-Quran), menginjak SD ada Madrasah Diniyah Awaliyah,
menginjak SMP ada Madrasah Wusto,
menginjak SMA ada Madrasah Ala. Yang perlu diketahui madrasah disini berbeda
dengan Madrasah Islam formal seperti MTs (SMP) dan MA (SMA), sekolah madrasah
yang saya maksud adalah sekolah madrasah sore yang dilaksanakan setelah sekolah
formal sebagai pengetahuan tambahan diluar sekolah formal mengenai ilmu agama
Islam. Pendidikan madrasah diniyah ini sangat penting dalam perkembangan
generasi Islam muda sebagai penerus bangsa yang mampu mencetak generasi muslim yang berakidah dan
berakhlakul kharimah.
Walaupun setelah pulang dari sekolah formal nasional dan masih harus sekolah madrasah sore kita tetap semangat menjalaninya, tidak sampai disitu saja kegiatan anak-anak desa, menjelang setelah maghrib pun mereka masih belajar lagi, yaitu belajar mengaji. Kegiatan mengaji ini mereka lakukan sampai mereka benar-benar lancar membaca al-Quran dan sudah khatam (tamat) membacanya, tidak cukup hanya satu kali khatam, biasanya kegiatan mengaji ini dilakukan hingga mereka menginjak dewasa. Bagi remaja pun mengaji bukan hanya sebatas mengaji al-Quran saja, tapi juga mengaji kitab-kitab tauhid dan akidah Islam lainnya.
Kalau kita bayangkan betapa berat anak-anak desa dalam belajar dan mereka sangat pintar-pintar, kalau kita bandingkan dengan anak-anak perkotaan kegiatan mereka hanya sekolah formal dan les saja, walaupun di kota ada madrasah sebagai pendidikan Islam, tapi keberadaannya sangat jarang dan kurang diminati oleh orang tua murid.
Madrasah Diniyah adalah lembaga
pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal yang
bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama Islam kepada pelajar-pelajar
yang merasa kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahannya (Aliyahcijulang's Blog, 2010).
Madrasah Diniyah Takmiliyah ialah suatu
sutu pendidikan keagamaan Islam nonformal yang menyelenggarakan pendidikan
Islam sebagai pelengkap bagi siswa pendidikan umum. Untuk tingkat dasar (diniyah
takmiliya awaliyah) dengan masa belajar 6 tahun. Untuk menengah atas (diniah takmiliyah wustha) masa belajar tiga tahun, untuk
menengah atas (diniyah ulya) masa belajar selama tiga tahun dengan jumlah jam
belajar minimal 18 jam pelajaran dalam seminggu (Kemenag, 2010: 7).
Menurut Amin Haidar yang
dijelaskan kembali oleh Umar perubahan nomenklatur dari madrasah diniyah
menjadi diniyah takmiliyah berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan madrasah
diniyah merupakan pendidikan tambahan sebagai penyempurna bagi siswa sekolah
dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA)
yang hanya mendapat pendidikan agama Islam dua jam pelajaran dalam satu minggu,
oleh karena itu sesuai dengan artinya maka kegiatan tersebut yang tepat adalah
diniyah takmiliah.
Madrasah Diniyah (MD) atau pada saat ini disebut Madrasah Diniyah Takmiliah (MDT) adalah lembaga pendidikan Islam yang dikenal sejak lama bersamaan dengan masa penyiaran Islam di Nusantara. Pengajaran dan pendidikan Islam timbul secara alamiah melalui proses akulturasi yang berjalan secara halus, perlahan sesuai kebutuhan masyarakat sekitar.
Sejarah
Madrasah Diniyah
Sejarah
Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan
berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun
waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian
al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan
(terutama di Jawa) dengan nama Sorogan, Bandongan dan Halaqah.
Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau
tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: Surau,
Dayah, Meunasah, Langgar, Rangkang, atau mungkin nama lainnya (Aliyahcijulang's Blog, 2010).
Perubahan
kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang
awalnya diperkenalkan oleh Pemerintah Kolonial melalui sekolah-sekolah umum
yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan
keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi
(1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi
nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Noer
1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal seperti rintisan Zainuddin
berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang mayoritas
penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah
yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur
sekolah sekarang. Meskipun sulit untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan
madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun Kementerian Agama mengakui bahwa
setelah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola Madrasah Diniyahlah
yang berkembang menjadi madrasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan
perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar
sekolah” yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah
pembinaan Kementerian Agama
Meskipun
demikian tercatat masih banyak pula Madrasah Diniyah yang mempertahankan ciri
khasnya yang semula, meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar
sekolah. Pada masa yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor
13 Tahun 1964, tumbuh pula Madrasah-madrasah Diniyah tipe baru, sebagai
pendidikan tambahan berjenjang bagi murid-murid sekolah umum. Madrasah Diniyah
itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah
Diniyah Awwaliyah untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama, dan ‘Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
Madrasah diniyah dalam hal itu dipandang sebagai lembaga pendidikan
keagamaan klasikal jalur luar sekolah bagi murid-murid sekolah umum. Data
EMIS (yang harus diperlakukan sebagai data sementara karena ketepatannya dapat
dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah diniyah di Indonesia pada tahun ajaran
2005/2006 seluruhnya 15.579 buah dengan jumlah murid 1.750.010 orang.
Berdasarkan
Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah
bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat
tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan yang
dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan
terhadap pengetahuan agama Islam. UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti
dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan
memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di
Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan
bentuk pendidikan yang ada di bumi Nusantara ini.
Keberadaan
peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi Madrasah
Diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini,
penyelenggaraan pendidikan Diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola
pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak
untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.
Secara
umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik pendidikan Diniyah di bumi Nusantara
ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang
berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok
pesantren. Pendidikan Diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan
swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan
pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan Diniyah
yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat
nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang
diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal
di pagi hari. Keempat, pendidikan Diniyah yang diselenggarakan di luar
pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana
layaknya sekolah formal (Aliyahcijulang's Blog, 2010).
Ciri-ciri
Madrasah Diniyah
Dengan
meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan
sub-sistem Madrasah Diniyah, maka dapat dikatakan ciri-ciri ekstrakurikuler
Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut (Aliyahcijulang's Blog, 2010):
1. Madrasah Diniyah merupakan pelengkap
dari pendidikan formal.
2. Madrasah Diniyah merupakan
spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat yang
ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja.
3. Madrasah Diniyah tidak dibagi atas
jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
4. Madrasah Diniyah dalam materinya
bersifat praktis dan khusus.
5. Madrasah Diniyah waktunya relatif
singkat, dan warga didiknya tidak harus sama.
6. Madrasah Diniyah mempunyai metode
pengajaran yang bermacam-macam.
Kurikulum
yang digunakan Madrasah Diniyah
Berdasarkan
Undang-undang Pendidikan dan Peraturan pemerintah no 73 tahun 1991 pada pasal 1
ayat 1 disebutkan “Penyelenggaraan pendidikan diluar sekolah boleh dilembagakan
dan boleh tidak dilembagakan”. Dengan jenis “pendidikan Umum” (pasal 3.
ayat.1). sedangkan kurikulum dapat tertulis dan tertulis (pasal. 12 ayat 2).
Bahwa Madrasah DIniyah adalah bagian terpadu dari system pendidikan nasional
yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah untuk memenuhi hasrat
masyarakat tentang pendidikan agama. Madarsah Diniyah termasuk kelompok
pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang dilembagakan dan bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik menguasai pengetahuan agama Islam, yang dibina oleh
Menteri Agama (PP 73, Pasal 22 ayat 3). Oleh karena itu, maka Menteri
Agama d/h Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
menetapkan Kurikulum Madrasah Diniyah dalam rangka membantu masyarakat mencapai
tujuan pendidikan yang terarah, sistematis dan terstruktur. Meskipun demikian,
masyarakat tetap memiliki keleluasaan unutk mengembangkan isi pendidikan, pendekatan
dan muatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan leingkungan madrasah.
Madrasah
diniyah mempunyai tiga tingkatan yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan
Diniyah Ulya. Madrasah Diniyah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan), dan
Wustha 2 tahun (2 tingkatan). Input Siswa Madrasah Diniyah Awaliyah diasumsikan
adalah siswa yang belakar pada sekolah Dasar dan SMP/SMU.
Sebagai
bagian dari pendidikan luar sekolah, Madrasah Diniyah bertujuan :
1. Melayani warga belajar dapat tumbuh
dan berkembangn sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan
martabat dan mutu kehidupanya.
2. Membina warga belajar agar memiliki
pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperluakan untuk mengembangkan
diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat dan /atau jenjang yang
lebih tinggi, dan
3. Memenuhi kebutuhan belajar
masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah (TP 73
Pasal.2 ayat 2 s.d 3).
Untuk
menumbuh kembangkan ciri madrasah sebagai satuan pendidikan yang bernapaskan
Islam, amka tujuan madrasah diniyah dilengkapi dengan “memberikan bekal
kemampuan dasar dan keterampilan dibidang agama Islam untuk mengembangkan
kehidupannya sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat dan warga Negara”.
Dalam
program pengajaran ada bebarapa bidang studi yang diajarkan seperti Qur’an
Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan
Praktek Ibadah. Dalam pelajaran Qur’an-Hadits santri diarahkan kepada pemahaman
dan penghayatan santri tentang isi yang terkandung dalam qur’an dan hadits.
Mata pelajaran aqidah akhlak berfumgsi untuk memberikan pengetahuan dan
bimbingan kepada santri agar meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai
Rasul dan hamba Allah, meyakini dan menjadikan Rukun Iman sebagai pedoman
berhubungan dengan Tuhannya, sesame manusia dengan alam sekitar, Mata pelajaran
Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina santri
untuk mengetahui memahami dan menghayati syariat Islam. Sejarah Kebudayaan
Islam merupakan mata pelajaran yang diharapkan dapat memperkaya pengalaman
santri dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW dan sahabat dan tokoh Islam.
Bahasa Arab sangat penting untuk penunjang pemahaman santri terhadap ajaran
agama Islam, mengembangkan ilmu pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa
degan pendekatan komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melaksanakan ibadah
dan syariat agama Islam (Aliyahcijulang's Blog, 2010).
Kurikulum
Madrasah Diniyah pada dasarnya bersifat fleksibel dan akomodatif. Oleh karena
itu, pengembangannya dapat dilakukan oleh Kementerian Agama Pusat Kantor Wilayat/Depag
Propinsi dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kotamadya atau oleh
pengelola kegiatan pendidikan sendiri. Prinsip pokok untuk mengembangkan
tersebut ialah tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku tentang
pendidikan secara umum, peraturan pemerintah, keputusan Menteri Agama dan
kebijakan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan Madrasah Diniyah (Aliyahcijulang's Blog, 2010).
Komentar
Posting Komentar